1.
Bagaiman cara mengatasi kecurangan dalam pemilu berupa surat suara yang telah
tercoblos sebelum di edarkan ?
Jawab
:
Kecurangan pada
pemilihan umum marak dilakukan oleh kubu kubu calon presiden pada pemilu
presiden tahun ini, banyak terjadinya tindak kecurangan yang dilakukan oleh
para oknum untuk menjatuhkan salah satu pihak yang mencalonkan sebagai
presiden. Hal ini menimbulkan gejolak di masyarakat tidak hanya dimedia sosial
namun, kecurangan ini juga memicu kerusuhan dan demonstrasi besar besaran dan
akhirnya merugikan banyak pihak sekaligus kedua calon presiden. Indonesia saat
ini mengalami krisis moral besar besaran dimana mulai tidak adanya rasa
kesatuan dan malah saling menghancurkan antara pihak satu dengan pihak yang
lain tanpa memperdulikan HAM setiap orang, bahkan mengolok ngolok dan
merendahkan orang lain tanpa adanya hati nurani. Politik saat ini dijadikan
pelampiasan sebagai pemuas keinginan untuk berkuasa, politik kotor sudah banyak
dilakukan pihak atasan dan kalangan bawah yang tak memiliki kekuasaan tanpa
suara hanya bisa menyaksikan kecurangan yang terjadi tanpa bertindak apapun.
Lemahnya hukum diIndonesia juga mendukung maraknya aksi kecurangan dalam pemilu
ini.
Dilansir dalam
berita detik mengenai perkembangan kasus pelanggaran dalam pemilu Presiden
tahun 2019 ini akarta - Dalil-dalil kecurangan pemilu yang dilayangkan
oleh Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 02 Prabowo Subianto
- Sandiaga Uno akhirnya mendarat di landasan konstitusional. Di hari terakhir
pendaftaran perkara, melalui tim hukumnya, permohonan perselisihan hasil pemilu
(PHPU) diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebelumnya, upaya konstitusional telah
ditempuh dengan mengajukan laporan dugaan pelanggaran administratif pemilu ke
Badan Pengawas Pemilu RI (Bawaslu). Terdapat empat laporan yang diajukan. Dua
laporan diajukan oleh Sufmi Dasco Ahmad dengan nomor perkara 07/LP/PP/ADM/RI/00.00/V/2019
dan 08/LP/PP/ADM/RI/00.00/V/2019 yang diputus 14 Mei 2019. Kedua laporan
ditujukan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) atas persoalan pengelolaan SITUNG
dan legalitas lembaga quic count. Satu perkara diajukan oleh Djoko
Santoso dan Hanafi Rais yang teregistrasi dengan nomor
01/LP/PP/ADM.TSM/RI/00.00/V/2019, sedangkan perkara lainnya diajukan oleh Dian
Islamiati dengan nomor 02/LP/PP/ADM.TSM/RI/00.00/V/2019. Keduanya mempersoalkan
dugaan kecurangan dari Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 01
Joko Widodo - Maruf Amin yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif
(TSM). Kedua laporan telah diputus pada 20 Mei 2019. Sebelum putusan MK dikeluarkan, pada dasarnya potensi
ada atau tidaknya kecurangan yang bersifat TSM yang didalilkan kubu
Prabowo-Sandi sudah dapat diukur dengan merujuk pada keempat putusan Bawaslu
tersebut dengan menilai kualitas dan kuantitas dalil dan alat bukti yang
disampaikan. Pada laporan tentang pengelolaan SITUNG, disebutkan bahwa
data-data yang dimasukkan oleh KPU sengaja dimanipulasi untuk mengurangi suara
yang diperoleh Prabowo-Sandi dan mendongkrak suara Jokowi-Maruf. Namun dalam
proses ajudikasi, ditemukan fakta bahwa kesalahan input data dalam SITUNG adalah murni human
error dan tidak ditemukan adanya
indikasi kecurangan.
Kekeliruan input data tidak hanya
terjadi pada perolehan suara pasangan calon nomor urut 02, melainkan juga pada
01. Data-data yang disajikan oleh tim hukum Prabowo-Sandi pun telah
ditindaklanjuti oleh KPU dengan perbaikan data dan verifikasi ulang, bahkan
sebelum laporan diajukan ke Bawaslu. Maka dari itu, Bawaslu menghukumkan KPU untuk
memperbaiki tata cara dan prosedur input data SITUNG. Bawaslu pun mengimbau agar KPU
tetap memperhatikan dan mengedepankan ketelitian dan akurasi dalam mengunggah
data di SITUNG. Pada laporan selanjutnya,
tim Prabowo-Sandi mempertanyakan kredibilitas lembaga penyelenggara quick
count yang dianggap berpihak kepada
Jokowi-Maruf, sehingga mempublikasikan hasil quick count yang sudah pasti mengunggulkan Jokowi-Maruf. Tim
Prabowo-Sandi mempertanyakan KPU yang tidak melaksanakan tugas dan wewenangnya
dengan baik karena tidak melakukan supervisi dan pemberian sanksi terhadap
lembaga quick countyang tidak
independen. Tetapi, tidak terbukti adanya
lembaga quick count yang
memihak salah satu kandidat. Apalagi, jika bukti yang disampaikan hanya
penghitungan tidak valid di satu provinsi saja, yaitu Provinsi Bengkulu.
Kekeliruan di satu provinsi saja tidak dapat serta merta merepresentasikan
adanya kekeliruan secara nasional.
Kendatipun
begitu, dalam persidangan ditemukan fakta bahwa KPU telah melanggar tata cara
dan prosedur pendaftaran dan pelaporan lembaga quick count karena tidak
melakukan sosialisasi pendaftaran dan pengawasan lembaga quick count dalam
mengumpulkan laporan sumber dana dan metodologi penelitian, sebagaimana
diamanahkan peraturan perundang-undangan. Beruntungnya, beberapa lembaga quick
count yang sudah berpengalaman
memberikan hasil survei penyelenggaraan pemilu berinisiatif menyampaikan
laporan sumber dana dan metodologi yang dipakai dalam menjalankan quick
count tanpa harus menunggu aba-aba dari
KPU. Atas dasar tersebut, Bawaslu
menyatakan, KPU melanggar tata cara dan prosedur pendaftaran dan pelaporan
lembaga quick count serta
memerintahkan kepada KPU untuk mengumumkan lembaga quick count yang belum memasukkan laporan ke KPU supaya
dapat segera ditindaklanjuti oleh KPU. Namun demikian, dugaan kecurangan yang
dilakukan oleh KPU masih nihil dan belum terbukti.
Dua perkara lainnya yang diajukan oleh Djoko
Santoso dan Hanafi Rais serta Dian Islamiati memiliki karakteristik yang sama.
Keduanya menuduh kandidat Jokowi-Maruf telah melakukan kecurangan yang bersifat
TSM, sebab diduga melakukan politik uang dan melibatkan aparat pemerintah untuk
memenangkan Jokowi-Maruf. Keduanya pun sama-sama dinyatakan tidak dapat
diterima di tahap sidang pendahuluan karena alat bukti yang disampaikan tidak
memenuhi syarat kualitatif dan kuantitatif.
Mengacu
pada penjelasan Pasal 286 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum (UU Pemilu), pembuktian TSM disandarkan pada tiga hal: (1)
terstruktur, yaitu dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah
maupun penyelenggara pemilu secara kolektif; (2) sistematis, yaitu direncanakan
secara matang, tersusun, bahkan sangat rapi; dan (3) masif, yaitu dampak
pelanggaran sangat luas pengaruhnya terhadap hasil pemilu, bukan hanya parsial. Secara kuantitatif, berdasarkan Pasal 25
ayat (8) huruf c Peraturan Bawaslu Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelesaian
Pelanggaran Administratif Pemilu (Perbawaslu No. 8 Tahun 2018), minimal
terdapat dua alat bukti di paling sedikit 50% dari jumlah daerah provinsi,
yaitu 17 provinsi.
Sayangnya, alat bukti yang dilampirkan pada dua
perkara tersebut berupa print out berita elektronik yang masih memerlukan penjelasan dari alat bukti
pendukung berupa surat, video, atau dokumen lainnya. Adapun pelapor juga
melampirkan laporan penanganan pelanggaran di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi
Jawa Timur. Namun demikian, dua provinsi saja masih tetap tidak bisa
menggambarkan kondisi yang bersifat masif menurut UU Pemilu dan Perbawaslu No.
8 Tahun 2018. Dengan mempelajari keempat
laporan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalil-dalil kecurangan TSM, yang
selama ini digembar-gemborkan secara TSM juga, sulit untuk dibenarkan akibat
lemahnya pembuktian.
Dokumen, video, keterangan saksi, dan sebagainya
harus dapat dihadirkan di ruang ajudikasi, begitu pula implikasi yang
signifikan dalam perolehan suara yang mengakibatkan berkurangnya suara dari
salah satu pihak. Pihak yang mendalilkan harus menunjukkan secara gamblang
perbandingan perolehan suara akibat manipulasi dan perolehan suara berdasarkan
pemilu yang jujur dan adil. Namun
demikian, tim Prabowo-Sandi gagal melakukan hal itu. Kesalahan dan kekeliruan
manajemen pemilu oleh KPU dan screenshot berita online tentu tidak kuat untuk membuktikan adanya
tuduhan serius berupa pelanggaran pemilu yang TSM. Bisa jadi kecurangan pemilu
memang terjadi, tetapi sifatnya kasuistik, insidental, perseorangan, dan
sporadis Mengatur Strategi. Apabila
tim Prabowo-Sandi ingin memenangkan gugatan PHPU di MK, maka perlu mengatur
ulang strategi. Kunci utamanya terdapat pada pembuktian yang harus memenuhi
kualifikasi kuantitatif dan kualitatif serta signifikansi dengan perolehan
suara. Namun demikian, apabila mencermati permohonan tim hukum Prabowo-Sandi ke
MK, dalil dan alat bukti yang disampaikan cukup sama dengan substansi laporan
ke Bawaslu. Kecurangan TSM adalah suatu
tuduhan serius. Membangun narasi-narasi negatif di masyarakat tidak akan
membantu apapun apabila alat bukti yang dihadirkan di meja persidangan hanya
imajinasi. Jika jalan semacam ini lagi yang ditempuh, bisa jadi, hasilnya tidak
akan berbeda jauh dengan sidang gugatan Perselihan Hasil Pemiluhan Umum (PHPU)
yang diketuk MK lima tahun silam.
Menurut
Fabrice Lehoucq (2003), seperti dikutip Mudiyati Rahmatunnisa, ada banyak cara
bisa dilakukan untuk memanipulasi suara, mulai dari pelanggaran prosedural (procedural
violations) sampai kepada tekanan dan paksaan atau pencurian kotak suara
pada saat hari pencoblosan. Dijelaskannya, penyebab terjadinya tindakan
pelanggaran dalam Pemilu, yakni berkorelasi dengan upaya melindungi kepentingan
ekonomi; tingginya tingkat persaingan politik; lemahnya tradisi warga terlibat
dalam aktivitas kolektif, lemahnya civil society organizations (social
differentiation); angka kemiskinan yang tinggi; rendahnya literacy warga
sehingga lemah kapabilitasnya untuk melindungi kebebasan sipil, termasuk sistem
Pemilu proprortional representation yang memberikan peluang
partai politik untuk melakukan pelanggaran.
Sementara
Ramlan Surbakti (2011) berpandangan, godaan untuk memenangkan kursi
sebanyak-banyaknya dengan cara yang curang dan bertentangan dengan hukum
sangatlah tinggi karena yang dipertaruhkan sangat tinggi. Tidak saja dana,
tenaga, dan waktu, Pemilu juga merupakan pertaruhan ideologi, harga diri, dan
kepentingan pendukung. Peserta atau calon yang tidak mampu menahan godaan
seperti ini hendak menentukan hasil Pemilu sebelum pemungutan dan penghitungan
suara dilakukan. Apabila praktik kecurangan (seperti jual-beli suara,
intimidasi dan paksaan, serta manipulasi) cukup banyak terjadi, legitimasi
proses penyelenggaraan Pemilu akan dipertanyakan. Penyelenggaraan Pemilu tanpa
integritas seperti ini niscaya akan mencederai asas-asas Pemilu yang
demokratik.
Jenis hingga Fakta
Secara
kategoris, kecurangan Pemilu bisa dibagi kepada dua jenis, yakni: pertama,
kecurangan Pemilu yang bersifat terstruktur, sistematis dan massif (TSM) dan
kedua yang bukan TSM. UU No. 10 tahun 2016 tentang Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Walikota Pasal 135A
mengartikan, yang dimaksud “terstruktur” adalah kecurangan yang dilakukan
secara struktural. Baik aparat pemerintah maupun Penyelenggara Pemilihan secara
bersama-sama. Yang dimaksud “sistematis” adalah pelanggaran yang direncanakan
dengan matang, tersusun, dan rapi. Yang dimaksud “massif” adalah dampak
pelanggaran luas pengaruhnya terhadap hasil pemilihan, bukan hanya sebagian.
Sedangkan kecurangan yang bukan TSM tidak sebagaimana dimaksud UU No. 10 tahun
2016 Pasal 135A
Prilaku
curang di Pemilu bisa dilakukan secara by design, atau melalui
perencanaan matang dari awal (hulu) hingga akhir (hilir). Yakni: dari
kegiatan yang berhubungan dengan pendataan penduduk dan pengelolaan data
pemilih serta pengelolaan dan distribusi logistik, khususnya surat suara. Ending atau
ujungnya pada kegiatan pemungutan dan penghitungan suara, yakni: memperoleh
suara signifikan di Pemilu/Pilkada. Kecurangan bisa juga dilakukan secara by
accidental atau dilakukan seketika itu juga, terutama dengan
mengambul fokus pada kegiatan pemungutan dan penghitungan suara. Namun
tujuannya sama, yakni: beroleh suara di Pemilu dengan cara-cara curang.
Antisipasi
menurut Guru Besar Psikologi Universitas Atma Jaya Jakarta Irwanto (2019)
adalah sikap dan tindakan manusia untuk mempersiapkan tanggapan terhadap
situasi yang belum terjadi berdasarkan bukti-bukti atau observasi saat ini.
Antisipasi dilakukan dengan sejumlah langkah, diantaranya: pertama,
Penyelenggara Pemilu baik jajaran KPU, Bawaslu, dan DKPP harus menjaga dan memelihara
profesionalitas, integritas, independensi dan netralitasnya. Hal tersebut
harus ditunjukkan dalam segala kebijakan, pengaturan, keputusan, ucapan
serta tindakan yang dilakukannya. Jika hal tersebut diabaikan, maka sulit
bagi Penyelenggara Pemilu untuk mengantisipasi, mencegah atau menindak pelaku
pelanggaran dan kecurangan Pemilu 2019.
Kedua, tugas Penyelenggara Pemilu di Pemilu 2019 memang
berat. Selain harus melakukan tugas pokok yakni: menyelenggarakan Pemilu
bagi KPU,
bagi Bawaslu harus
mampu mendeteksi dan mencegahnya (detecting and deterring)
segala potensi kecurangan, baik yang sistematis/by design atau accidental di
semua tingkatan kegiatan penghitungan suara, termasuk terhadap aktor-aktor yang
berpotensi melakukan kecurangan. Harus diingat bahwa Penyelenggara
Pemilu, khususnya Bawaslu, tidak bekerja di ruang hampa, melainkan di alam
nyata. Karenanya, kemampuan untuk mendeteksi potensi kerawanan dan kecurangan
secara detail dan mencegahnya secara empirik, sangat penting. Jika kecurangan
Pemilu sudah mewujud menjadi suatu kenyataan, maka yang berbicara adalah
penindakan dan penegakan hukum oleh jajaran Bawaslu.
Ketiga, Pemilu 2019 penuh tantangan dan kompleks. Segala
pelanggaran dan kecurangan bisa terjadi dan berpangkal dari aktivitas yang
sudah dapat diprediksi, namun juga yang di luar prediksi (unpredictabel).
Oleh karena itu, seperti diingatkan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
Penyelenggara Pemilu harus mampu menerapkan manajemen krisis untuk dapat
mengatasi persoalan tersebut dengan baik. Di era teknologi informasi digital
ini, bisa saja terjadi kejahatan yang tujuannya menggagalkan Pemilu, seperti
melakukan pembobolan dan pengrusakan terhadap sistem informasi KPU. Termasuk potensi
gangguan keamanan terhadap hasil Pemilu yang dilakukan oleh pihak-pihak kalah
dalam Pemilu.
Keempat, ikhtiar mengatasi kecurangan Pemilu tidak cukup
hanya dilakukan Penyelenggara Pemilu, melainkan harus dilakukan dan didukung
seluruh partai politik peserta Pemilu, kandidat dan tim kampanye dengan
melibatkan berbagai komponen masyarakat dan menjadikannya sebagai isu dan musuh
bersama (common enemy) yang harus diperangi secara massif.
Bahkan jika perlu partai politik membentuk Satuan Tugas (Satgas) atau Gugus
Tugas mengatasi kecurangan Pemilu yang diterjunkan ke seluruh titik-titik
krusial terjadinya potensi kecurangan Pemilu, khususnya pada kegiatan
pemungutan dan penghitungan suara di TPS. Diatas itu semua, Netralitas TNI/Polri/birokrasi
dalam menekan dan mengeleminir potensi maupun realitas kecurangan pemungutan
dan penghitungan suara di Pemilu 2019, sangat strategis dan besar peran dan
pengaruhnya guna mewujudkan Pemilu 2019 yang berintegritas.
Depo 20ribu bisa menang puluhan juta rupiah
ReplyDeletemampir di website ternama I O N Q Q.ME
paling diminati di Indonesia,
di sini kami menyediakan 9 permainan dalam 1 aplikasi
~bandar poker
~bandar-Q
~domino99
~poker
~bandar66
~sakong
~aduQ
~capsa susun
~perang baccarat (new game)
segera daftar dan bergabung bersama kami.Smile
Whatshapp : +85515373217